Sirip Ikan Hiu Dilarang Dikonsumsi
Berita Terbaru, Di berbagai negara, sirip ikan hiu memang menjadi salah satu makanan favorit. Teksturnya yang kenyal, berurat dan berserabut, membuatnya banyak digemari. Menurut mitos di China, sirip ikan hiu dipercaya mengandung banyak zat yang bermanfaat. Padahal, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti asal Food and Nutrition Information Center menjelaskan bahwa sirip ikan hiu tidak mengandung banyak nutrisi. Sirip hiu umumnya terdiri dari tulang rawan yang secara umum tidak mengandung vitamin. Maka dari itu, sirip ikan hiu sebenarnya tidak terlalu bermanfaat justru hanya akan mengancam populasi hiu di seluruh dunia karena terus diburu.
KPK Sita Uang Asing Rp 2 M –
Berita Terbaru, Seorang hakim pengawas berinisial S dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari hasil penangkapan itu KPK juga mengamankan sejumlah mata uang asing dengan nilai lebih dari Rp 2 miliar.
Keluarga Korban Mobil Nyemplung Nangis di RSCM
JAKARTA (Pos Kota) – Sejumlah keluarga dan kerabat korban kecelakaan, mobil Totota Rush nyemplung ke kali (sungai) di Jl.Daan Mogot, Jakarta Barat, mendatangi kamar jenazah RSCM, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat Kamis (2/5). Isak tangis pun pecah saat mereka begitu melihat korban.
“Anak saya pergi sehat, kenapa pulang sudah tak bernyawa,” ucap Evi, orangtua Kenny Erlangga, satu korban tewas.
Menurutnya, anak pertama dari keduanya tersebut, pamit untuk pergi bersama ketiga rekan alumni SMA. “Saya tidak curiga, karena memang mereka sudah lama berteman,” jelasnya.
Tiga Korban Merpati Belum Ditemukan
JAYAPURA, KOMPAS.com — Tim SAR hari Senin (9/5/2011) ini masih melakukan pencarian tiga korban jatuhnya pesawat Merpati Nusantara Airlines jenis M-60 di perairan Kaimana, Papua Barat, sekitar 500 meter dari Bandara Utarom, Sabtu, setelah sebelumnya menemukan 24 korban.
"Tim SAR yang dibantu penyelam dari Sorong telah menemukan 24 korban, termasuk awak pesawat, tetapi tiga di antaranya belum ditemukan," kata Kepala Bandara Utarom, Kaimana, Gagarin Mardiansyah yang dihubungi melalui telepon seluler dari Jayapura, Senin.
1.001 Beasiswa Digelontorkan Astra
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 1.001 pelajar tingkat SD, SMP, SMA/SMK di wilayah Jakarta Utara menerima Beasiswa Lestari dari PT Astra International Tbk. Pemberian beasiswa melalui payung program corporate social responsibillity (CSR) "Satu Indonesia" (Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia), Senin (9/5/2011), di SDN 05 dan 06 Sungai Bambu, Jakarta Utara.
Presiden Direktur PT Astra International Tbk Prijono Sugiarto mengatakan, Beasiswa Lestari diberikan langsung kepada para siswa dari kalangan kurang mampu dan dinilai memenuhi kriteria, serta mempunyai prestasi akademis. Beasiswa tersebut merupakan bentuk beasiswa pendidikan yang berlanjut sehingga memungkinkan para penerima beasiswa melanjutkan pendidikan dasar sampai ke tingkat SMA.
"Beasiswa yang diberikan terdiri dari berbagai macam, salah satunya uang cash yang kami berikan langsung kepada para siswa dalam bentuk tabungan," kata Prijono saat memberikan beasiswa secara simbolis, Senin (9/5/2011), di SDN 05 dan 06 Sungai Bambu, Jakarta Utara.
Adapun besaran beasiswa yang diberikan sangat variatif. Untuk tingkat SD, tiap siswa menerima Rp 65. 000 per bulan, sementara siswa SMP menerima Rp 85.000 per bulan. Untuk jenjang SMA/SMK, tiap siswa mendapatkan Rp 100.000 per bulan.
Khusus untuk wilayah Jakarta Utara, kata Prijono, sejak 1999 program Beasiswa Lestari telah diberikan sedikitnya kepada 10.000 penerima. Sedangkan untuk skala nasional, Astra memberikan beasiswa tersebut kepada lebih dari 106.000 penerima beasiswa dengan total anggaran tak kurang dari Rp 3 miliar yang diperoleh dari tiga persen profit Astra di setiap tahunnya.
"Sejak awal kami telah memberikan lebih dari 106 ribu beasiswa kepada pelajar di seluruh jenjang pendidikan. Anggarannya mencapai Rp 3 miliar," kata Prijono.
Sejarah Islam Di Indonesia
Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
Langganan:
Postingan (Atom)